Dapatkah Senyuman itu Tercipta
Misteri yang terjadi kini telah berhenti. Tangisan terdengar keras dari mulut – mulut keabadian. Hujan yang turun deras di ruang itu seakan menangisi apa yang telah terjadi. Sinar mentari redup tak tersenyum. Angin yang sepoi – sepoi terasa mendinginkan badan. Sesekali petir menyambar pelan. Suara bermacam – macam tercipta berbeda.
Jeritan itu muncul dalam suatu kelas yang memang sedang dilanda kegundahan. Dilanda masalah yang benar – benar cukup besar. Terlihat semua fikiran mereka kosong. Hanya air mata yang terlihat keluar dari puluhan mata. Semua tanpa mereka sadari. Kejadian itu begitu singkat dan seakan tidak pernah mereka rencanakan.
Aku mengintip diantara jendela yang cukup tinggi. Wajar saja, semua yang ada di ruangan tidak aku lihat semua. Hanya aku melihat seorang laki – laki yang hitam namun manis sedang menangis sambil memberikan sebuah ungkapan – ungkapan penyesalan kepada teman – temannya. Layaknya ketua kelas, namun bukan.
Seketika aku teriris melihat semua yang terjadi. Aku melihat seseorang yang dulu aku sayangi. Dulu, namun melihat dia menangis hati ikut tersiksa dan bersedih. “ Apa masih aku menyayanginya ??? “. Tanyaku dalam hati. “ Ah sudahlah perasaan itu tak boleh muncul lagi. Di dalam sana semua teman – temanku “. Memang di dalam sana semua teman – temanku ada. Mereka menangis terlihat menyesal. Tak ada yang terdiam ataupun melamun. Semua menangis mengeluarkan amarah, sesal, kecewa, duka dan banyak lagi perasaan yang mungkin mereka rasakan.
Aku adalah anak social. Beberapa hari kelasku seperti di kambing hitamkan. Begitu sangat amarah ku terpendam. Memang bukan aku yang di jadikan tersangka. Tapi, itu teman sekelasku sendiri. Rasanya hati ini sakit, perih, kecewa dan marah ada dalam hati. Temanku sendiri difitnah begitu saja dengan perlakuan yang begitu mengecewakan.
Kemarin siang, ketika kelasku sedang belajar Penjas materi, tiba – tiba datang guru IPA masuk ke kelas ku. Aku dan teman ku sudah mengetahui apa tujuan guru IPA masuk ke kelas ku. Dengan amarah, membuka satu persatu buku. Dan buku temanku di ambil karena dianggap mirif dengan tulisan misterius yang mencemarkan nama guru.
Aku merasa pilu melihat nama guru – guruku di cela seperti itu. Namun, aku pun tak menerima temanku sendiri di perlakukan seperti itu tanpa ada bukti yang jelas. Aku dan temanku anak social yang memang dari dulu social selalu dianggap rendah oleh anak science. Tapi, bukan berarti social selalu buruk. Aku jelas – jelas tak menerima ketika kejadian itu. Temanku di panggil ke kantor untuk dimintai keterangan. Aku yakin bukan temanku pelakunya.
Sehari setelah kejadian itu, terungkaplah siapa tersangka sebenarnya. Benar saja, bukan teman sekelasku bukan pula anak social lainnya. Dalam hati aku merasa bahagia. Tapi dalam hati kecilku aku merasa kasihan melihat teman – temanku menangis seperti itu.
Aku merasa tak tega, benar – benar tak tega. Ku lagkahkan kakiku meninggalkan semua. Aku ingin menangis namun aku malu. Lebih baik aku meninggalkan sekolah dari pada harus menangis di depan umum.
*******
Siang yang melelahkan. Aku telah selesai melaksanakan pelajaran yang benar – benar buatku ngantuk. Pelajaran pertama yang seharusnya masih bisa ku tangkap dengan segar bukan dengan mata ngantuk.
Aku keluar dengan lega. Namun, saat ku lihat teman ku sedang menangis aku mulai segar. Ku hampiri mereka. Mereka adalah anak science yang merupakan tersangka dalam pencemaran nama baik guru – guru semua. “ Kenapa ??? “. Tanya ku pada salah satu temanku yang pada waktu kelas sepuluh sekelas.
Dia memelukku. Menangis di pelukanku. “ Hmmm, kenapa harus begini. Kelas kami tidak di beri imfak juga tidak di beri absen. Kami dianggap seperti tidak ada di sekolah ini. Bahkan salah satu guru IPA mengatakan, kehilangan murid 31 tidak akan rugi. Berarti kami semua akan di keluarkan “.
Hatiku menangis mendengar apa yang di katakana temanku. Padahal tersangka yang ada hanya dua orang laki – laki. “ Kenapa mereka semua di libatkan, apa yang terjadi jika semua di keluarkan dari sekolah ??? “. Tanya ku dalam hati.
Aku melepaskan pelukan temanku. Aku berbincang dengannya. Sebentar sebelumku masuk ke kelas. Kebetulan kelas ku dan kelas science yang di jadikan tersangka berdekatan.
Setelah dia tenang, aku meninggalkannya dan masuk ke kelas B. Inggris karena akan ulangan harian. Aku masih memikirkan nasib temanku. Aku jelas – jelas tak konsen mengisi soal – soal. Terngiang di telingaku suara pilu temanku yang memelukku. Aku memang sebel pada anak science yang telah di jadikan tersangka. Karena, menurut info yang ada temanku yang di fitnah dan di tuduh oleh guru – guru awal mulanya dari anak science. Tapi, di sana banyak teman – temanku. Bukan banyak namun hamper semua.
Satu jam berlalu. Aku keluar bersama teman – temanku yang lain. Dan temanku yang menunggu di luar masuk. Aku duduk di bawah pohon dekat lapang. Ku perhatikan anak – anak science yang sedang duduk tanpa ada guru yang masuk. Semua guru enggan untuk masuk mengisi kelas. Mereka memang sakit hati atas perlakuan murid – muridnya. Apa lagi guru matematika yang sangat aku sukai. Namanya di rubah menjadi nama yang jorok. Pantas saja guru matematika yang aku sukai menangis histeris. Bukan hanya guru matematika yang aku sukai tapi guru yang lain.
“ Mereka tampak murung. Kasihan mereka “. Kataku pada temanku yang duduk di sampingku.
“ Ya, tapi harus gimana lagi. Itu kesalahan mereka “.
“ Yang bersalah hanya berdua kenapa harus mereka yang di hokum semuanya ??? “.
“ Ada yang bilang mereka semua kerja sama. Karena pencemaran nama baik yang di tulis di meja siswa telah ada sejak dua bulan yang lalu. Masa selama itu tidak ada yang tau. Jadi, guru – guru menyangka semuanya bersekongkol “.
Aku mengangguk. Aku mengerti apa yang temanku katakan. Aku tidak bisa berbuat apa – apa. Karena siapa aku. Aku hanya bisa memandangi wajah duka mereka yang memang sangat memilukan. Jika aku ada di posisi mereka, aku pasti tidak akan berhenti menangis. Aku pasti malu, sedih, kecewa, khawatir, semuanya perasaan yang buruk pasti akan aku rasakan. “ Akan kah mereka kembali tersenyum ??? “. Tanya ku dalam hati. Entah mengapa pertanyaan itu muncul. Namun, aku percaya mereka akan kembali seperti biasa. Sekarang guru – guru hanya masih tak percaya atau kaget dengan perlakuan muridnya. Karena seberapa marah guru mereka tak kan mungkin membiarkan anak didiknya terlantar. Karena jauh di lubuk hati para guru, perasaan kasih dan sayang pasti ada. Pahlawan yang memang berjiwa pahlawan. “ Jangan takut teman semuanya hanya cobaan “. Begitu kataku ketika ku melihat mereka tak semangat dalam penjara kekhawatiran, seraya ku masuk kelas karena bel berakhir pelajaran sudah berdering.
0 komentar:
Posting Komentar