Pembaca, cerita hikayat ini di ambil dalam sebuah situs web, namun aku merubahnya menjadi sebuah Drama. Ya, karena di sekolah ku ada tugas menampilkan Drama. Aku rubah sedikit juga aku tambah ceritanya. Do'akan aku ya supaya aku bisa lancar dalam pentas pertengahan November nanti.
Sinopsis :
Di suatu daerah yang masih tunduk pada kekuasaan raja, hiduplah seorang keluarga miskin yang memang sangat miskin. Namun, kemiskinan mereka tertutupi oleh seorang gadis yang baik, penyayang dan sikapnya yang lemah lembut. Namanya Sanikem. Namun, sayangnya dia mempunyai seorang ayah yang gila harta dan ibu yang cukup lemah pada kemauan suami.
Hingga pada suatu hari Sanikem yang baru menginjak dewasa dijual oleh ayahnya sendiri kepada seorang raja yang angkuh dan sombong, namun takluk pada wanita cantik. Raja tersebut sering disebut Tuan Besar Mellema. Setelah tinggal bersama Tuan Besar Mellema, nama Sanikem mulai luntur. Begitu pula sikapnya yang berubah. Sanikem mengganti namanya dengan Nyai Boerderij Buiternzorg atau Nyai Ontosoroh. Dia pun membenci kedua orang tuanya. Saking membenci orang tuanya, Sanikem membujuk Tuan Besar Mellema untuk tidak menaikkan jabatan pada ayahnya. Hingga Sanikem dan Tuan Besar Mellema pergi, ayah Sanikem malah dipecat karena Tuan Besar Mellema pergi pindah bersama Sanikem dan pabrik gulanya bangkrut. Semua itu semata rencana Sanikem membuat orang tuanya menderita.
Pemain :
1. Suci Farida : Sutradara
2. Asty Fitriani : Sanikem atau Nyai Ontosoroh
3. Rifqi Afrilanda : Tuan Besar Mellema
4. Dwi Afriani Nur I : Ibu Sanikem
5. Budi Sihabudin : Ayah Sanikem atau Sastrotomo
6. Dikdik Hidayat : Darsam atau Patih
7. Neng Rosa : Narator
Siang yang membakar. Seorang Raja yang sedang berdiri memegang pinggang memandangi daerah kekuasaanya. Dengan ditemani seorang patih yang sangat setia padanya. Terkadang dia menggelengkan kepalanya namun terkadang dia memanggut – manggutkan kepalanya, terlihat sedang menunggu sesuatu. Raja itu tak lain Tuan Besar Mellema. Raja yang sombong dan angkuh namun takluk pada wanita cantik.
Sementara, dalam sebuah rumah yang reot yang nampaknya telah berumur sangat tua, terjadi isak tangis seorang gadis yang memang masih muda dan seorang wanita paruh baya dengan pakaian kumal dan tidak terurus.
Sastrotomo : ( Menyeret Sanikem ). “ Kamu sekarang sudah dewasa, sudah saatnya nasibmu berubah. Hari ini akan datang orang yang membawa nasibmu lebih baik dari sekarang. Maka bersucilah, agar kemelaratanmu menjadi tonggak masa depanmu “.
Ibu Sanikem : ( Bersedu, Dia menaburkan bunga tujuh rupa dari nampan yang sebelumnya telah diberi mantra tanda untuk mensucikan Sanikem ).
Sanikem : ( Terdiam dan pasrah, saat tujuh macam bunga memenuhi tubuhnya ).
Ibu Sanikem : ( Membawa nampan yang terdapat selendang dan kalung bunga tujuh warna, lalu memasangkan selendang pada pinggang Sanikem dan memasangkan kalung pada Sanikem tanda dia telah suci) . “ Tabahkan hatimu Nak, usiamu telah 16 tahun, tidak baik jika kau dikatakan perawan kaseb. Maka, relakan hari mudamu ini “.
Sanikem : “ Betul saya sudah dewasa, tapi saya punya hak untuk menentukan pilihan “.
Sastrotomo : “ Tidak ada kata pilihan ( Sedikit membentak ) !. Pemuda – pemuda yang melarat dan kampungan tak patut kau pilih. Yang ada sekarang kau dipilih untuk menjadi orang kaya dan terhormat.
Sastrotomo menyeret Sanikem. Sanikem meronta di ikuti oleh ibunya dari belakang. Sastrotomo meyeret Sanikem untuk di jual pada Tuan Besar Mellema.
Sastrotomo : “ Betul saya akan menjadi juru bayar Tuan?. Ah saya senang sekali, menjadi juru bayar adalah impian saya sejak dulu, bertahun – tahun lamanya. Oleh karena itu terimalah persembahan saya. Ini anak gadis saya. ( Memandang Sanikem ) Sanikem, mendekatlah! dia adalah Tuan Besar Mellema “.
Ibu sanikem : “ Jangan pak, jangan. Kenapa Ikem kau serahkan kepada laki – laki angkuh dan sombong itu?. Teganya kau pak ( Bersedih sambil mengusap pundak Sanikem ) “.
Tuan Besar M : “ Jadi ini anakmu ( Memandang Sanikem ). Bagus bagus, kowe pintar ( Tertawa lalu pergi membawa Sanikem ) “.
Sanikem : ( Diam tanpa ada perlawanan ).
Ibu Sanikem : ( Menangis melihat anak gadis semata wayangnya dibawa pergi ).
Sastrotomo : ( Tertawa girang ) “ Akhirnya saya jadi juru bayar “.
Ibu Sanikem : “ Sampeyan menjadi juru bayar, tetapi sampeyan harus membayar mahal dengan mengorbankan masa depan Sanikem. Dia darah daging kita, tetapi sampeyan tega menjual dia untuk menjadi gundik, demi ambisi sampeyan “.
Sastrotomo : “ Kamu jangan banyak omong, saya sudah memperjuangkan anak saya untuk menjadi seseorang yang bisa dihormati. Dia akan terhormat karena menikah dengan Tuan Besar Mellema dan kita akan terhormat juga karena Sanikem menjadi orang kaya dan tidak menjadi gelandangan bersama pemuda – pemuda kampung yang tidak berpendidikan “.
Ibu Sanikem : “ Buat apa harta benda, kalau hatinya terpenjara. Hidupnya terkerangkeng dalam genggaman laki – laki angkuh dan sombong. Kita sudah kehilangan segalanya pak. Kamu lebih memilih sekeping golden dan jabatan palsu. Tetapi sampeyan telah mengorbankan segalanya yang telah kita miliki dan kita rawat bertahun – tahun. Anak – anak kampung yang dengan tulus memberikan cintanya, tetapi sampeyan tolak. Sementara dia yang datang dengan membawa segerobak kepalsuan sampeyan terima dengan tangan terbuka. Sampeyan telah mengadu nasib dengan ketidaktentuan pak ( Menangis ) “.
Sastrotomo : “ Diamlah !. Saya punya rencana lain untuk Ikem. Rencana ini pasti akan mengubah hidup kita. Dan tidak ada urusannya dengan lamaran pemuda-pemuda kampung yang pada gudhikan itu. Apa mau kamu hidup melarat, dan hanya mengandalkan dari penghasilan saya sebagai Juru Tulis? Saya ini, sebentar lagi akan naik pangkat jadi Juru Bayar. Kedudukan yang lebih tinggi dari sekedar Juru Tulis. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan segala urusan. Apalagi Juru Bayar.
Ikem telah mendapatkan laki-laki yang pantas. Mulai saat ini Sanikem tidak boleh keluar rumah. Tidak boleh memandang ke laki-laki yang berkeliaran dan tidak jelas itu. Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah saya impikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun!
( Tetawa ) Juru Bayar. Saya akan jadi Juru Bayar. Semua orang di Pabrik Gula itu akan tunggu saya berderet-deret. Harus tunggu uang dari tangan saya. ( Tertawa ) Saya akan jadi kasir. Bertumpuk-tumpuk uang di jari-jari saya. Semua orang akan berurusan dengan saya, Si Juru Bayar! Mereka harus datang ke saya. Harus ambil uang dari tangan saya dengan membubuhkan cap jempol. Para buruh, pedagang, akan bungkuk-bungkuk di depan saya. Tuan Totok, Peranakan, akan beri tabik pada saya. Guratan pena saya berarti uang. Saya akan masuk golongan penguasa di pabrik.
Kemarilah istriku. Kau harus ikut senang, suamimu ini akan jadi Juru Bayar! Berpakaianlah yang pantas, selayaknya istri orang terpandang. Kamu jangan bersedih. Ikem akan lebih terhormat kawin dengan laki-laki kaya. Dia akan menghuni rumah besar. Kita bisa diundang ke sana sewaktu-waktu. Ayo istriku kita songsong kehidupan yang lebih baik “.
Ibu Sanikem : ( Terdiam tertunduk ).
Sementara di rumah Tuan Besar Mellema yang besar dan indah dengan hiasan – hiasan dinding yang menarik. Ditambah dua kursi kesayangannya yang dihiasi hiasan bunga berwarna kuning emas. Tuan Besar Mellema sedang memandangi Sanikem yang terlihat cantik dan manis yang duduk di kursi kerajaan tepat di sampingnya. Tuan Besar Mellema mengajak Sanikem berbincang, namun Sanikem hanya berdiam diri. Tiba – tiba, ketika Tuan Besar Mellema mengajak Sanikem berbincang, datanglah kedua orang tua Sanikem.
Tuan Besar M : “ Kowe sudah 16 tahun. Kowe sudah besar dan cantik, seperti bunga di Tulangan atau seperti mawar dari Surabaya. Kowe jangan takut dengan saya. Saya akan menjaga kowe dan membahagiakan kowe “.
Sastrotono dan Istrinya diam di hadapan Sanikem dan Tuan Besar Mellema. Tuan Besar Mellema hanya tersenyum seolah mengetahui maksud kedatangan mereka.
Tuan Besar M : “ Kemarilah ( Sambil tersenyum ) !. Sastrotomo, Ini berisi 25 golden. Kelak, setelah kowe lulus dalam pemagangan selama dua tahun, kowe akan jadi Juru Bayar “.
Sastrotomo : “ Terimakasih Tuan Besar. Saya jamin Ikem sangat penurut. (Kepada Sanikem) Ikem anggap saja ini rumahmu yang baru. Kau tidak boleh keluar rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau juga tidak boleh kembali ke rumah tanpa seijin Tuan dan seijin Bapakmu “.
Sanikem : “ ( Menunduk ). Baik pak “.
Sastrotomo meninggalkan rumah Tuan Besar Mellema yang indah itu. Sementara istrinya hanya memandang pada Sanikem yang menunduk tak mau melihat wajah mereka.
Tuan Besar M : “ Ikem, kowe diam saja. Kowe mau apa?. Kowe mau baju bagus?, kowe mau kamar besar dan indah?. kowe mau makan enak?. Sekarang kowe bilang apa yang kowe mau “.
Sanikem : “ Saya ingin menangis karena nasib saya yang tidak seberuntung orang lain. Taukah Tuan Besar yang sangat saya hormati, saya masih terlalu muda untuk seperti ini. Dijual oleh orang tuanya sendiri untuk melayani Tuan Besar Mellema sampai Tuan Besar Puas. ( Berdiri ) Tuan Besar, jika Tuan Besar mencintai saya maka izinkan saya untuk pergi dari sini dan menempuh hidup saya sendiri di luar sana tanpa ada sepengetahuan dari oaring tua saya. Saya sudah membenci mereka. Dan mulai sekarang saya akan menganggap kalau orang tua saya sudah mati “.
Tuan Besar M : “ ( Berdiri ) Lancang kowe ! mereka adalah orang tua kowe yang terbaik jangan kowe seperti itu. Duduklah ( Memegang pundak Sanikem ) saya mencintai kowe sepenuhnya. Saya ingin kowe di sini menemani saya sampai saya puas “.
Sanikem : “ ( Memandang kasar ) Saya mengerti, setelah Tuan Besar puas, saya akan Tuan Besar buang. Karena saya hanya budak belian yang bisa tuan suruh apa saja ( Menunduk sambil menangis ) “.
Tuan Besar M : “ Sudahlah saya mengerti perasaan kowe. Tapi saya tidak akan berbuat seperti yang kowe bilang tadi ( Pergi meninggalkan Sanikem ) “.
Sanikem mengusap air matanya ketika menyadari Tuan Besar Mellema telah pergi. Dia pergi menuju taman yang terletak di pinggir kerajaan. Dia duduk di sebuah kursi di dekat bunga – bunga yang bermekaran.
Sanikem : “ Kesal dan amarah kini seluruhnya ada dalam benak saya yang kini menyiksa saya habis - habisan. Kini saya ingin marah melampiaskan semua yang saya rasakan. Namun, saya di sini hanyalah sendiri. Rasanya saya ingin tunjukkan pada siapa saja yang ada bahwa hati ini begitu kecewa. Saya adalah anak tunggal yang seharusnya dijaga. Saya adalah titipan Tuhan yang seharusnya dijaga. Namun, nasib saya begini. Bukan dijaga tapi dijual untuk mendapatkan kepuasaan. Dengan tega mereka membiarkan hati saya di penjara. Andai ada orang tau, saya tidak ingin ada orang yang merasakan seperti yang saya rasakan kini. Terkutuklah bila orang tua tega menjual anaknya sendiri “.
Darsam : “ ( Perlahan mendekat ) Nyonya besar, janganlah nyonya berkata demikian. Itu tidaklah baik. Bagaimana pun mereka adalah orang tua yang terbaik “.
Sanikem : “ Peduli apa kamu ( Sedikit membentak ) “.
Darsam : “ Saya sudah bersama Tuan Besar semenjak adanya kerajaan ini hingga saya tahu betul bagaimana Tuan Besar Mellema. Percayalah Tuan Besar akan menjaga Nyonya Sanikem “.
Sanikem : “ Berhentilah berbicara ( Sambil menunjuk ). Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang mulai sekarang harus memanggil saya Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal!.
Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah mersa bosan, untuk dicampakan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah, bisa badan diusir dengan semu anak-anaknya sendiri. Atau bahkan dengan tangan kosong. Ya, mereka telah membuat saya jadi Nyai begini. Maka saya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik-baiknya.
Dan kau Darsam, kau lebih berharga dari saya. Kau bekerja di sini sedangkan saya hanya seorang budak belian yang dijual orang tuanya. Biarkan saya yang mengerjakan tugasmu untuk mengurusi semua pekerjaanmu mengambil susu ternak rumah ini. Dan saya akan menggantikan semua tugas Mbok – mbok di sini. Kau cukup hanya menjadi Patih Tuan Besar Mellema yang baik“.
Darsam terdiam, hatinya menangis mendengar perkataan sanikem. Perlahan dia mendekati Sanikem kembali dan mengajaknya untuk masuk.
Darsam : “ Baiklah. Jika Nyai Ontosoroh ingin menjadi nyai yang baik. Maka sekarang ikutlah saya masuk ke dalam. Tuan Besar pasti mencari nyai “.
Nyai Ontosoroh atau Sanikem menurut mendengar kata – kata Darsam. Darsam mengantarkan Nyai Ontosoroh ke kamarnya. Kemudian disusul Tuan Besar mellema. Darsam pergi melihat kedatangan Tuan Besar Mellema lalu berbisik sedikit.
Sanikem : ( Duduk di ranjang hatinya bergetar melihat Tuan Besar mellema datang ). “ Mau apa Tuan Besar kemari ? “.
Tuan Besar M : “ Saya mendengar semua yang kamu bicarakan dengan Darsam. Baiklah, Nyai Ontosoroh yang saya cintai dan saya hormati, yang harus nyai lakukan sekarang bacalah buku - buku itu selalu ( Sambil menunjuk pada tumpukkan buku ). Juga buku-buku itu akan membawamu kepada dunia yang maha luas. Dengan begitupun, bahasa melayu dan Belandamu akan terus maju dan Nyai akan semakin menguasai berbagai bidang dan pengetahuan “.
Sanikem : ( Diam tanpa kata ).
Dua tahun berlalu. Sanikem telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan ayu. Kalung bunga yang selalu dia kenakan sejak dulu masih terlihat segar karena telah dibacai mantra sebelumnya. Tuan Besar Mellema yang sepenuhnya mencintai Sanikem selalu menuruti apa yang Sanikem inginkan kalaupun Sanikem tidak pernah meminta. Perlakuan seperti itu, bukan membuat Sanikem luluh namun membuat Sanikem semakin membenci kedua orang tuanya. Seperti yang telah dijanjikan oleh Tuan Besar Mellema dua tahun lalu kepada orang tua Sanikem terutama Ayah Sanikem bahwa akan menjadikan Sastrotomo sebagai juru bayar setelah lulus pemagangan. Maka pada suatu hari ketika Sanikem sedang berbincang dengan Tuan Besar Mellema di kursi kesayangan Tuan Besar Mellema datanglah orang tua Sanikem dengan pakaian kucel tak terurus ditemani Darsam.
Sanikem : “ Ya dari dulu sampai sekarang saya tidak akan pernah berubah. Saya akan menjalankan semua tugas sebaik-baiknya. Akan saya kerahkan seluruh tenaga dan perasaan yang ada pada diri saya untuk Tuan. Sebaik-baiknya. Karena itulah tugas saya, sebagai Nyai Tuan. Apakah wanita Eropa diajar sebagaimana saya diajar sekarang ini, Tuan? Sudahkan saya seperti wanita Belanda?.
Tuan Besar M : “ Ha ..ha ..ha .. ( Tertawa ) tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Kau lebih mampu dari rata-rata mereka. Kau lebih cerdas dan lebih baik dari mereka semua. Tapi kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian yang berantakan juga pencerminan perusahaan yang kusut dan berantakan harus lebih kau perhatikan “.
Sanikem : “ Baik tuan, semua yang Tuan Besar inginkan saya akan kabulkan “.
( Darsam datang dengan kedua orang tua Sanikem dengan berjalan jongkok tanda hormat pada Tuan Besar dan Sanikem )
Darsam : “ ( memberi hormat ) Maaf mengganggu Tuan Besar dan Nyai Ontosoroh. Saya di sini bersama orang tua Nyai Ontosoroh ( Mundur meluruskan jongkoknya dengan orang tua Sanikem ) “.
Tuan Besar M : “ Beri hormatlah nyai !. Orang tua nyai datang untuk menjenguk nyai “.
Sanikem : ( Diam acuh melihat kedua orang tuanya ).
Ibu Sanikem : “ ( Berdiri ). Kemarilah Ikem sayang. Sanikem anak ibu “.
Sanikem : “ ( Berdiri ) Ikem, Sanikem. Siapa yang kau sebut itu ? “.
( Semua terkejut )
Sanikem : “ Di sini tidak ada yang bernama Sanikem “.
Tuan Besar M : “ Lancang kau nyai ( Berdiri ). Temuilah, peluklah mereka “.
Sanikem : “ Maaf tuan, saya tidak nurut dengan yang tuan inginkan sekarang. Karena memang saya tak sudi untuk memeluk mereka. Saya rasa, mereka ke sini tidak untuk menjenguk saya melainkan untuk menagih janji tuan dua tahun yang lalu “.
Betapa sakit hati Ibu Sanikem mendengar kata – kata yang keluar dari mulut anaknya sendiri. Sementara Sastrotomo terdiam. Karena memang alasan pertama dia datang adalah untuk menanggih janji. Tak pernah terfikir bahwa Sanikem akan seperti itu.
Tuan Besar M : “ Apa yang kalian mau ? “
Sastrotomo : “ Saya ingin menjenguk Sanikem Tuan Besar Mellema. Apa itu benar Bu ?”.
Ibu Sanikem : “ ( Menunduk diam ). Benar sayang. Kemarilah sayang, peluklah ibumu ini “.
Sanikem : “ Maaf kan saya, saya tidak pernah mengenal kalian. Jadi, saya tidak akan pernah sudi untuk memeluk kalian “.
Tuan Besar M : “ Kau terlalu keras Nyai…Temui Ayah dan Ibumu! “.
Sanikem : “ Kalau bukan mereka tamu tuan, sudah saya usir ( Kembali duduk )“.
Tuan Besar M : “ ( Menunjuk pada Sastrotomo ). Mulai sekarang kowe bisa jadi ju. . “.
Sanikem : “ Tidak !!!. ( Memotong pembicaraan Tuan Besar mellema ). Jangan biarkan mereka mendapatkan semuanya tanpa ada pengorbanan. Enak ya kalian datang lalu di kasih jabatan. Tuan Besar Mellema, jika tuan benar – benar mencintai saya pasti tuan akan mengabulkan permintaan saya. Karena sejak saya tinggal bersama Tuan Besar saya tidak pernah meminta apa – apa pada tuan. Hanya sekarang, saya mohon jangan biarkan mereka mendapatkan jabatan yang layak. Biarlah mereka menderita, karena seseorang yang telah membuat orang lain menderita mereka haruslah menderita karena itu sudahlah kehendak “.
Sastrotomo : “ Sanikem, lancang kau pada ayah dan ibumu sendiri. Siapa yang dulu pernah merawat dan menyayangimu “.
Ibu Sanikem : ( Menangis )
Sanikem : “ ( Menghela nafas ). Saya rasa sejak dulu tidak pernah ada yang menyayangi saya. Saya hanyalah orang yang hina dina yang tega dijual oleh orang tuanya sendiri untuk kepuasan sendiri tanpa memperdulikan perasaan saya. Tuan Besar jika tuan hanya diam seperti itu, saya tau tuan bingung. Sekarang saya akan menjatuhkan pilihan pada tuan. Saya pergi dari sini atau Tuan Besar batalkan perjanjian Tuan Besar. Karena saya telah ikhlas dengan nasib saya sekarang “.
Tuan Besar M : ( Berbisik pada Darsam ).
Darsam : ( Mengangguk )
“ Pergilah !. Tuan Besar Mellema tidak akan menepati janjinya karena begitu besar cintanya kepada Nyai Ontosoroh. Dan jika kalian mencintai Nyai Ontosoroh, maka kalian akan pergi sekarang juga “.
Suasana hening. Sastrotomo dan istinya beringsut pergi. Wajahnya penuh duka. Sastrotomo beringsut terus, seperti menapaki nasibnya yang tak berujung. Dalam hati Sastrotomo dan Ibu Sanikem tergores penyesalan dan kesakitan yang begitu dalam.
Tuan Besar M : “ Saya sudah menuruti apa yang nyai mau. Saya harap muka nyai bisa seperti tadi, tidak marah – marah seperti ini “.
Sanikem : “ Baiklah Tuan, tapi saya ingin pindah jauh dari sini. Di sini begitu banyak hal yang menyakitkan “.
Tuan Besar M : “ ( Menghela nafas dan berfikir ). Baiklah, besok kita pindah. Saya telah membeli tanah luas jauh – jauh hari di Wonokromo, penuh semak belukar dan dekat rumpun-rumpun hutan muda. Sapi yang dibeli dari Australia dipindahkan ke sana.
Sanikem : “ Baiklah saya setuju “.
Semua pergi meninggalkan tempat. Suasana menjadi sepi mendadak. Darsam yang mendengar semua pembicaraan bergegas memberitahu kedua orang tua Sanikem di rumahnya yang makin hari tambah reot. Keesokan harinya semua bergegas. Termasuk Sanikem.
( Ke esokan harinya )
Sanikem : “ ( Memandang Cermin ). Segala yang saya pelajari selama hidup bersama Tuan Besar Mellema, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi, orang seperti saya yang telah dijual oleh orang tuanya sendiri.
Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak tergantung pada Tuan Besar Mellema. Sebaliknya dia sangat tergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak pernah menolak. Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tetapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik. Saya tahu, apa yang diajarkan oleh Tuan Besar Mellema kelak akan berguna bagi saya jika Tuan Besar Mellema telah mulai bosan dan membuang saya.
Tuan Besar M : “ Ayo nyai kita pergi. Darsam telah siap ( Menghampiri Nyai Ontosoroh dan mengajaknya pergi ) “.
Akhirnya, perlawanan Sanikem atau Nyai Ontosoroh berhasil. Membuat orang tuanya merasakan apa yang pernah dia rasakan dulu. Sekarang semua pergi, sedangkan Sastrotomo tak menjadi juru bayar, bahkan dipecat karena pabrik gula ditutup. Lengkap sudah penderitaan orang tua Sanikem ketika menyaksikan anak semata wayangnya pergi jauh meningglkan mereka tanpa ada salam pamitan atau ucapan terakhir.
0 komentar:
Posting Komentar