Gunung Konflik Meletus
Malam yang gelap tanpa ada sinar bintang dan sinar rembulan. Angin yang masuk lewat jendela begitu terasa. Tampak sosok gadis yang terdiam, berbaring dengan buku yang di pegengnya menutupi kepalanya. Terlihat asyik membaca namun nyatanya, dia sedang menangis. Pintu kamarnya dia kunci rapat, air matanya tak henti – hentinya berlinang. Sebagian bukunya basah terkena tetesan. Apalagi guling kesayangannya.
Gadis itu bernama Risa. Dia amat manis dengan kerudung yang sering dia kenakan. Berwarana kuning sesuai warna kesukaannya. Tapi malam itu, kerudungnya dia lepas. Dia hanya menangis dan menangis. Semua orang mengira Risa sedang menghapal, karena sudah kebiasaan rutin Risa menghapal ketika selesai sholat magrib. Apalagi minggu ini minggu- minggunya ulangan. Risa selalu memegang buku dan tak melepasnya apalagi melupakannya.
Hari ini Risa berbeda. Dia tak menghapal namun menangis. Dia tak tersenyum namun bersedih. “ Aku pasrah dengan hari esok. Aku tak tau apa aku bisa melewati ulangan besok???. Yang jelas aku tak bisa menghapal dengan cara begini. Kenapa ini harus terjadi???. Apa yang akn terjadi setelah kejadian ini???. Aku takut bahkana aku sangat takut. Aku tak kuat memendam ini sendiri. Aku ingin ada sahabatku disini “. Risa kembali menangis. Air matanya kembali berlinang. Dalam fikiran Risa hanya mengingat – ngingat kejadian yang baru saja terjadi pada keluaraganya.
*******
Senja yang indah. Layang – layang yang berterbangan dengan berbagai macam warnanya. Langit yang menguning menandakan akan datangnya waktu magrib. Risa duduk bersama adiknya yang paling kecil. Di tangannya buku setebal 3 cm selalu di bacanya dan di hapalkan jika perlu untuk di hapal. Terkadang adiknya mengganggu, namun Risa mencoba supaya tak terganggu. Ibu Risa nampak memancarkan aura kesedihan. Pancaran mukanya tak menampakkan keindahan seindah senja itu. Begitu juga kakak satu – satunya Risa yang hanya duduk di pintu dengan gelas di tangannya. Dia terlihat sangat lelah. Maklum, kakak Risa baru saja selesai bermain bola. Ibu Risa terlihat mondar – mandir. Risa hanya berdiam, becanda dan tertawa bersama adiknya yang paling kecil.
Risa memiliki tiga orang anak laki – laki dan satu kakak laki – laki. Jadi Risa anak ke dua dari lima bersaudara yang kebetulan anak perempuan satu – satunya. Adik Risa yang paling kecil dan yang ke dua berumur tak jauh beda. Tapi yang pertama tengah duduk di bangku sekolah dasar. Terdengar suara Ibu Risa yang memanggil adik keduanya. Memang begitu, adik kedua Risa. Dia ngeyel, bandel, dan tak betah diam di rumah. Beda dengan adik Risa yang paling kecil. Dia pendiam dan tidak kukuh. Bisa diajak kompromi kalau pun masih kecil.
Tiba – tiba tangisan terdengar. Risa tau, itu suara adiknya. “ Pasti di pukul Mama. Suruh siapa bandel terus. Tau Mama lagi kesel bikin ulah lagi “. Omel Risa dalam hati. Raut muka Risa Iba, ketika adiknya menangis dan memeluk Risa. Adik Risa yang paling kecil hanya diam menyaksikan abangnya menangis. Ibu Risa marah – marah dan hampir memukul adik Risa. Semua ketakuta. Risa berdiam menggendong adiknya yang paling kecil. Sedangkan adik kedua Risa di bawa ke kamar mandi untuk mandi karena sudah sore.
Omelan Ibu Risa terus saja, hingga membuat adik Risa yang sadang mandi ketakutan dan menangis kencang. Adik Risa yang pertama msuk kamar. Begitu pula seorang anak bertubuh peot, masuk ke dalam kamarnya. Anak pembawa sial yang selalu membuat Ayah dan Ibu Risa bertengkar. Risa sangat membencinya. Anak penipu yang seharusnya tak ada di rumah Risa.
“ Jebbbrreeeeedddddd “. Suara pintu di banting terdengar. Tepat di depan Risa dan adiknya. Kakak Risa marah, membanting pintu dan asuk ke kamar anak peot dan menyalahi dia. Memang semua kesalahannya. Anak peot itu pintar berbohong. Mulutnya yang bau itu selalu membuat naik darah Ibu Risa. Itulah sebabnya kenapa semua tak ada yang menyukainya.
Kakak Risa memarahi dia abis – abisan. Tatapan matanya yang seram, tingkahnya yang seram yang tidak pernah dia keluarkan, hari itu terjadi. Risa lari keluar dengan menggendong adiknya yang paling kecil. Risa ketakutan melihat kakaknya marah semarah – marahnya. Apalagi Kakak Risa tak pernah seperti itu. Wajar saja Risa ketakutan.
Risa tak berani masuk. Tangan dan seluruh badannya yang bergetar menahan dia masuk. Risa terus menangis. Adiknya yang paling kecil hanya memandangi Risa.
Adzan magrib berkumandang. Risa mengunci pintu, diam sendiri di kursi tamu. Adiknya yang paling kecil di serahkan Risa pada saudaranya.
“ Istigfhar nak, Istigfhar “. Terdengar suara dari dalam rumah.
“ Mah, Ga ridho aku liat Mama konflik terus – terusan Cuma gara – gara snak peot dan ga tau diri kaya gini. Emang dia pantes buat di bunuh Ma “.
“ Sudah nak istigfhar. Ini sudah magrib. Ambil air wudhu dan sholat lah supaya hatimu tenang “.
Kakak Risa menurut. Risa mulai berani masuk ke kamarnya lalu menguncinya. Risa sedang libur shalat. Dia lalu berbaring dan meluapkan kesedihannya.
Konflik itu meletus
Seraya semua yang terjadi buatku takut
Aku menahan ketakutan hatiku
Namun sangat aku tak mampu
Di senja yang indah semua terjadi
Anak peot itu sangat benar tak tau diri
Apa yang sebenarnya kini terjadi
Karena aku benar – benar tak mengerti
Apa yang akan terjadi setelah ini
Aku tauk apa yang dulu pernah ku alami terjadi lagi
Tuhan,, tulonglah jaga kami
Dari orang – orang yang tak tau diri
Risa menangis. Puisi nya hanya singkat saja. Risa tak tau apa lagi yang harus di tulisnya. “ Aku berharap, inilan konflik terakhir. Aku berharap gunung konflik tak kan pernah aktif lagi bahkan meletus. Aku kasihan sama Mama. Aku takut Mama kenapa – napa. Ya Allah jagalah kami dari orang – orang yang tak tau diri “.
Risa menutup mukanya dengan buku di tangannya. Di pejamkan matanya dengan teman air mata. “ Aku berharap, esok akan baik – baik saja “. Do’a terakhir yang Risa panjatkan sebelum tidur dengan teman ketakutan.
0 komentar:
Posting Komentar