XVII. LAMUNANKU


LAMUNANKU
        Aku masih teringat kejadian 16 Juli 2012 tepat pukul 06.45 WIB, disaat dia marah untuk pertama kalinya. Dia membentakku seakan membenciku. Ya, benar – benar membenciku.
        Perasaanku buram pagi itu. Baju seragam yang aku pakai seakan murung ingin melepaskan diri. Aku merebahkan tubuhku pada dinding bertuliskan “ Aderasty “, lalu meraba dan menatapnya. Tiba – tiba, bayangan itu muncul, disaat aku teringat dua minggu yang lalu sebelum hari ini terjadi, dia membohongiku.
        Dia, ya Deka. Seseorang yang membuat aku begini. Seseorang yang menyadarkan aku segalanya. Seseorang yang bisa membuatku melukai orang lain. Dan seseorang yang sampai saat ini belum bisa aku gantikan.
        Kebohongannya memutar kepalaku. Hingga aku lupa sudah waktunya aku berangkat sekolah. Aku mencoba membela diriku, namun apa yang Deka katakana adalah yang terbaik untuknya. Hingga aku menyerah untuk semuanya. Dan tersadar ketika waktu memaksa. Sudah waktunya berangkat sekolah. Aku menyuruhnya untuk tidak membalas pesanku. Karena saat itu aku membalas pesan Deka menggunakan ponsel ayahku. Karena saat itu aku mengalami krisis KOPA alias krisis kosong pulsa. Aku seminggu menderita ditinggal olehnya.
        Aku pamit kepada ibuku dengan tatapan seperti biasa. Aku mencoba menyembunyikan perasaanku sendiri. Aku tersenyum padanya dan mencium lengannya. Tangannya melambai melepasku. Aku membuang tatapanku ke jalan yang tak beraspal. Jalan yang masih berbatu besar. Namun masih segar.
        Aku pernah bercita – cita, dihari Ulang Tahunku yang ke 17 september nanti, aku ingin bersama Deka dan aku bisa mendapatkan sesuatu darinya. Apapun asalkan dari dirinya. Aku jadi teringat saat aku pergi ke kota untuk membelikan sesuatu untuk hari ulang tahunnya. Sesuatu yang menurutku Deka akan senang.
*****
        Siang yang membakar, aku membawa tubuhku pada keramaian bersama ayahku. Liburan yang tidak menyenangkan untukku. Karena lagi – lagi liburan tanpa Deka. Dia tak menghubungiku seminggu lamanya. Namun kali ini, aku mencoba ingin menyenangkannya. Sebentar lagi Deka bertambah usianya.
Aku masih ingat harapan Deka. Sesuatu pemberianku. Dan kali ini, aku mencoba mencarinya. Sesuatu yang telah aku fikirkan jauh – jauh hari sebelumnya. Aku mencarinya untuk mendampingi hasil karyaku. Aku membuatkan Deka sebuah video tentang aku dan perasaanku. Aku mengucapkan Happy Birthday padanya langsung dengan mulutku sendiri meskipun aku dan Deka tak bertatap langsung. Aku juga membelikannya jam tangan yang menurutku cocok untuknya. Karena saat aku main bersama Deka dan temannya, mereka saling bercanda. Dan memojok – mojokkan Deka. “  Apa aku tak salah dengar ??? “. Tanyaku dalam hati. Jam tangan Deka adalah pinjaman dari temannya. “ Pantas cocok sekali “. Godaku padanya.
Kini, aku ingin mencari sesuatu yang berhubungan dengan Korea. Ya dia sangat suka artis Korea. Terkadang aku cemburu melihat cover FB nya yang dihiasi dengan gambar artis Korea itu. Tapi, aku mengerti sukanya Deka. Aku benar – benar gelap untuk sesuatu yang berhubungan dengan Korea. Karena aku ga termasuk orang yang Demam Korea. Aku telah mencoba untuk menyukainya. Namun, tetap saja tidak. Aku akan mencarikannya Kamus Korea. Cocok atau tidak, aku harap Deka menyukainya. Dulu, Deka pernah bilang akan pergi ke seoul Korea. Dan untuk perbekalannya aku memberikan sesuatu yang menunjang bahasanya. Tragis ???. Aku ingin yang terbaik untuknya.
Berjalan dengan ayahku memang asyik. Tapi, aku belum menyiapakan alasan untuk apa kamus korea. Jadi aku mencuri alasan untuk mencarinya sendiri. Ke toko buku disana. Aku teringat saat Deka pertama mengajakku main. Ya, kami mampir ke toko buku. Tapi, hanya sekedar action di depan buku. AKu mencarinya. Namun hasilnya nihil.
Aku kembali pada ayahku yang sedang asyik memilih kaca mata. Aku berfikir Deka pasti keren jika pakai kacamata seperti ayahku. “ Hahahahaha . . “. Aku tertawa geli melihat ayahku memakai kacamata jumbo berwarna kuning. Aku jadi tidak berminat memilihkannya untuk Deka.
Ayahku tiba – tiba mengajakku ke sebuah toko yang padat pengunjung. Toko baju lengkap yang memang selalu aku kunjungi bersama ayahku. Aku tertarik dengan street kuning. Aku mengambilnya dan memasukkannya pada keranjang baju. Aku membuka HPku yang nampaknya ikut dengan keramaian. Sebuah pesan dari temanku. Aku membalsnya dan menyimpannya kembali.
Senja akan menjemput. Aku berjalan menyelusuri jalan besar dengan tatapan hampa. Aku tak menemukan kamus korea yang aku cari. Seandainya aku pergi sendiri, aku akan mencari sampai aku menemukannya. Aku mendapatkan kol berwarna biru. Yang kembali mengingatkanku saat pertama kali duduk berdua bersamanya. Dan aku sengaja duduk ditempat yang waktu itu menjadi saksi kebersamaan aku bersama Deka.
Aku meraba tasku. Aku terkejut karena perekat tasku terlepas. Aku segera membukanya. Dan benar firasatku. Dompet kuning pemberian kakakku sebelum berangkat ke luar kota hilang. Aku kehilangan dompet pemberian kakakku, kehilangan uangku, juga kehilangan kartu-kartuku. Aku tak karuan lalu mengatakannya kepada ayahku. Ayahku terlihat panik. Namun, kita sudah jauh meninggalkan tempat – tempat yang tadi kami kunjungi. Dan akupun tak tau dimana aku kehilangan dompetku.
Aku terdiam memandang jendela. Teringat uangku untuk membelikan kamus korea untuk Deka telah lenyap. Uangku untuk bersenang – senang dengan Deka jika aku jadi pergi ke tempat kelahirannya, dan uangku untuk segalanya. Semuanya hilang. Ditambah kartu buku ku yang ikut hilang. Aku hampa dan hatiku menjerit.
*****
        “ Asty . . . kenapa bengong sendiri. Liat tugas matematika dong “. Aku dikejutkan dengan suara nyaring teman sebangku ku.
        “ Mau nyontek ??? “. Godaku padanya.
        “ Asty apa sih. Bukan nyontek hanya menyamakan. Kalau sama bisa jadi pembelaan kalau jawaban kita bener “. Belanya sambil membawa buku tugasku.
        Aku hanya terdiam karena teringat pagi itu. Saat Deka membentakku. Deka marah padaku. Mungkin Deka akan membenciku. Aku mencoba menepis lamunanku karena bel keindahan mulai nyaring memasuki telinga. “ Siap untuk matematika “. Teriakku dalam hati.
        Perasaanku tenang setelah aku mulai belajar. Meskipun terkadang fikiran itu kembali kepadaku. Penyesalan yang terjadi padaku mengincarku seakan belum puas. Aku memang gagal tak bisa bersama Deka di hari Ulang Tahunnya. Juga aku gagal tak bisa membuat dia tersenyum di hari Ulang Tahunnya malah membuat dia kecewa dan terluka.
        Aku memang bodoh tak memberikan dia ucapan sekedar ucapan selamat dan menjadi orang pertama yang mengucapkannya padanya. Namun, saat itu aku tak memiliki apa – apa. Aku mencoba memaksa temanku mengirimkan saldo padaku dengan tempo tiga hari. Namun, temanku kehabisan saldo. Aku berfikir pada siapa lagi aku berani kredit pulsa. “ Hanya pada dia “. Hingga aku terbangun tepat tengah malam, bersiap untuk memberikan dia selamat. Tapi, dengan apa. Aku mencoba membuka HPku dan membuka situs jejaring social. Facebook. tapi, kosong pulsa tak bisa segalanya. Aku hanya menangis lalu aku tulis surat untuk Deka di malam di hari Ulang Tahunnya.






FOR  DEKA
Hai pangeranku Happy Birthday. Pasti belum tidur kan. Siapa orang pertama yang mengucapkan selamat padamu. Aku sangat berterima kasih padanya. Karena aku tak bisa melakukannya untuk kali ini. Seminggu kemarin aku menderita dengan semua yang terjadi. Entah kenapa semuanya terjadi. Maafkan aku sayang. Aku tak berdaya untuk mengucapkannya padamu. Aku tau telah beberapa minggu kamu tak menghubungiku. Tapi, bukan itu alasanku untuk tidak mengucapkan selamat padamu. maafkan aku. Aku hanya bisa mengungkapkannya disini. Pada pena dan selembar kertas yang mungkin membuatmu marah dan kecewa. Aku siap untuk semuanya. Happy Birthday sayang. Aku mencintaimu.

Asty  F
        “ Alhamdulillah. Akhirnya aku mengerti pelajaran matematika hari ini “. Gumam temanku yang rupanya menikmati pelajaran.
        “ Asty jangan bengong terus. Lihat tuh absen no 3 dipanggil. Semangat ya . . “. Aku terkejut. Sekilas aku membaca lagi pelajaran yang baru saja disampaikan. Fikiranku buyar karena lamunan tentang Deka. “ Deka . . . Kamu segalanya “. Gumamku seraya maju ke depan kelas.
        Perasaanku resah tak menetu. Apalagi saat aku tatap muka guru yang paling aku senangi. Guru matematika yang selalu membuat aku paham segalanya. “ Terima kasih ibu “. Gumamku dalam hati seraya aku kembali ke tempat duduk ku.
        “ Hebat “. Puji temanku.
        Aku hanya terdiam. Mulutku tak mau tersenyum. Hari ini hanya Deka yang menguasai diriku. 

0 komentar:

Posting Komentar